Sejak zaman Utsman bin Affan membeli sumur Raumah lalu mewakafkannya untuk umat, dunia sudah tau: air bisa mengalirkan pahala. Bahkan lebih deras dari debit sumbernya.
Tapi sekarang, banyak tanah wakaf kering. Bukan karena tandus. Tapi karena dibiarkan tertidur. Atau malah disengaja dibius oleh ketakutan: takut rugi, takut berdosa, takut salah, takut dibilang komersil.
Wakaf adalah ibadah. Tapi ia bukan ibadah pasif. Ia bukan shalat yang diam di tempat. Wakaf harus bergerak. Ia adalah ibadah yang berbisnis. Bisnis yang bernilai ibadah. Bukan sekadar niat baik. Tapi niat baik yang dibungkus strategi, dihitung dengan excel, dan dieksekusi seperti seorang CEO.
Saya tahu, di luar sana, banyak yang mengelola wakaf masih terjebak dalam dilema: harus profesional atau harus spiritual? Harus mengejar keuntungan atau mengejar pahala? Jawaban saya: dua-duanya. Tapi ditambah satu: harus tahan terhadap bisikan setan.
Karena yang kita hadapi bukan hanya persaingan usaha. Tapi bisikan-bisikan halus yang membuat kita ragu. Yang membuat kita malas belajar bisnis. Karena merasa cukup dengan niat baik. Yang membuat kita merasa cukup dengan laporan kegiatan, padahal wakaf tidak dititipkan untuk kegiatan, tapi untuk impact.
Wakaf bukan hanya butuh pengelola yang profesional. Tapi profesional plus. Seorang pengelola wakaf yang tahu cara menghitung BEP, tahu memetakan pasar, tahu mengeksekusi proyek, tapi tidak pernah absen shalat malam. Yang bisa menulis proposal bisnis, tapi juga rajin tilawah. Yang tahu kapan harus ekspansi, dan kapan harus istighfar.
Mengelola wakaf itu seperti bertarung di dua arena. Dua alam. Di satu sisi kita bertarung dengan logika dunia: investasi, risiko, likuiditas. Tapi di sisi lain kita bertarung dengan logika akhirat: keikhlasan, niat, amanah. Dan sering kali, justru musuh terbesarnya bukan orang lain. Tapi bisikan dalam diri sendiri. Pikiran sendiri.
Kalau kita mau jujur, hari ini umat Islam butuh lebih dari sekadar ceramah soal pahala wakaf. Kita butuh lebih banyak aksi nyata dari tanah-tanah wakaf yang menghasilkan cash flow, lapangan kerja, beasiswa, sekolah, rumah sakit, dan ketahanan pangan.
Jangan sampai tanah wakaf hanya jadi kenangan. Atau lebih buruk: jadi rebutan warisan. Saya tidak sedang menceramahi siapa-siapa. Saya hanya sedang mengingatkan diri saya sendiri: bahwa surga itu mahal. Dan salah satu tiket masuknya adalah mengelola wakaf secara sungguh-sungguh, dengan niat ikhlas dan ilmu yang tajam.
Karena pahalanya abadi. Tapi pengelolaannya harus masa kini. Dan semoga kita tidak hanya mewakafkan tanah. Tapi juga waktu, pikiran, dan kemampuan terbaik kita. Untuk Allah. Untuk umat. Untuk Indonesia dan Dunia.