Wakaf itu, katanya, sering kali seperti anak tiri. Ada, tapi tidak dianggap. Tanahnya luas. Niatnya mulia. Tapi nasibnya: kadang seperti istri simpanan. Simpanan tapi istri. Istri tapi di simpan. Alternatif untuk kuburan atau musala kecil yang mulai rapuh sebelum azan ketiga.
Hadir Trubus Sentra Agrobisnis (TSA). Di tengah Kalimantan yang luas dan liar itu, mereka tak hanya menyapa tanah wakaf. Tapi membangunkannya. Bahkan menyuruhnya bekerja.
Di tempat ini tanah wakaf tidak dikelola seperti biasa: anti menunggu. Langsung turun dengan sepatu boot, bibit jagung, singkong, buah-buahan, mesin produksi, dan tim yang bicara soal mikroba, nutrisi tanah, bahkan hilirisasi. Dikerjakan seperti perusahaan rintisan: penuh semangat, penuh risiko, penuh strategi, sangat sesat, sangat brutal. Nggak umum.
TSA percaya: tanah wakaf bukan untuk dikasihani. Tapi diberdayakan. Diperas potensinya. Diundang produktivitasnya. Diubah statusnya: dari mangkrak menjadi penggerak.
Tanah wakaf bukan hanya urusan pahala. Tapi juga urusan pangan. Urusan lapangan kerja. Urusan bisnis halal yang benar-benar dijalankan: ada SOP, ada marketing, ada manajemen produksi, bahkan ada tim pakar yang antri ikut ambil bagian, karena tahu ini bukan proposal minta sumbangan. Ini proposal untuk masa depan kehidupan.
Wakaf bukan sekadar amal yang ditanam, tapi pohon ekonomi yang wajib berbuah setiap musim. Semua dengan satu niat: agar wakaf ini tidak hanya hidup di papan nama, tapi di meja, di pasar, dan hati masyarakat. Harus menjadi tanah yang terus bertasbih.
TSA tidak sedang membuat gebrakan. Tapi membuat jalan baru. Jalan yang menyalakan mesin produktivitas. Kalau semua tanah wakaf di negeri ini dikelola seperti ini, kita tak perlu lagi bicara tentang ketimpangan sosial, kekurangan gizi, atau angka pengangguran tinggi. Kita tinggal bicara tentang keberkahan. Wakaf, akhirnya, bukan hanya tentang akhirat. Tapi juga tentang bagaimana dunia bisa lebih adil hari ini.