Daniar, Pemulung Amal Saleh
Saya datang ke kolam itu pagi-pagi.
Kabut masih menggantung rendah di atas permukaan air yang keruh. Bau lumpur tipis menyelinap ke hidung. Di sekeliling kolam, ada raut wajah penuh harap. Tapi juga penuh tanya: mau dibawa ke mana budidaya ikan tawar ini?
Di sinilah TSA Trubus Iman menaruh mimpi. Sebuah mimpi besar di tengah tantangan yang tidak kecil. Mulai dari air yang terlalu asam. Kadang terlalu keruh. Kadang malah terlalu sedikit. Bagi ikan—terutama nila dan lele—air itu bukan cuma tempat tinggal. Tapi juga hidup itu sendiri. Dan hidup mereka sedang tidak nyaman.
Pakan juga begitu. Harganya sering panik.
Bahkan kadang naik seperti harga tiket konser Coldplay. Tapi panen ikan tidak bisa naik seenaknya. Pasar terlalu kejam. Terlalu sensitif pada harga. Ada yang jual lebih murah sedikit, pembeli langsung pindah.
Saya tahu ini tidak bisa dibiarkan. Tapi harus nekat untuk bisa menyelesaikan. Mulai memperbaiki air. Bukan hanya pasrah pada alam. Tapi menggunakan aplikasi perbaikan kualitasnya. Dihitung pH-nya. Diberi probiotik. Dikelola aliran masuk dan keluar. Seolah air itu seperti bayi: harus dijaga gizinya.
Selanjutnya membuat pakan sendiri. Bukan pakan yang asal jadi. Tapi pakan mandiri yang bergizi. Dari limbah pertanian. Dari ampas tahu. Dari ikan rucah. Dicampur. Diformulasi. Diolah dengan mesin rakitan. Hemat biaya, dan tidak kalah bergizi.
Penutup perkuat SDM.
Inilah investasi sejati. Bukan hanya uang, tapi manusia. Maka TSA kirim tenaganya magang ke Yogyakarta. Ke tempat yang sudah berhasil lebih dulu. Biar tahu: bahwa sukses itu bukan angan. Tapi bisa dicontoh. Bisa dipelajari.
Apakah ini semua akan berhasil? Saya tidak tahu. Tapi saya percaya satu hal: rumus sukses itu nyata. Mimpi. Kerja keras. Ilmu. Ketekunan. Dan tentu saja: doa.
TSA Trubus Iman sudah menempuh jalan itu. Kita doakan saja: semoga berhasil. Karena keberhasilan itu milik mereka yang berani mencoba. Bismillah