Si Emas Bernama Nila | Wakaf Produktif

Ikan nila memang bukan ikan baru. Tapi dari sudut pandang ekonomi, dia adalah emas yang siap digosok. Bukan cuma untuk sambal goreng di warung sebelah, tapi juga untuk jadi filet di piring asing, Arab dan Amerika. Tilapia nama bekennya di dunia ekspor. Itu berasal dari tanah kita juga. Tanah surga.

Indonesia sebenarnya sudah punya pangkalan induk nila, Karawang. Bekas tambak udang 400 hektare diubah jadi tambak nila berkat tongkat sakti Kementerian Kelautan. Tapi produksi sebesar itu belum bisa mengisi kekosongan akibat revitalisasi Danau Toba jadi kawasan wisata. Aquafarm? Sudah lama ekspor. Tilapia Nusantara Jaya? Jalan terus. PT Kelola Laut Nusantara? Nggak main-main.

Tapi semua itu baru pasar luar negeri. Belum kita cerita pasar dalam negeri.
Ada PT. Freeport Indonesia. Dua minggu sekali mereka harus mendatangkan nila beku dari Klaten, Jawa Tengah. Untuk amunisi ribuan karyawan. Potensi lokal itu menganga. Paser hanya butuh satu hal: aksi.

Mari turun dari langit. Kita jejakkan kaki. Lihat angka. Jangan muluk-muluk.
Target jual 2 ton/minggu. Dalam sebulan, jadi 8 ton.
Harga jual ke pengepul Rp35.000/kg. Kalau pun pakan full pelet pabrik, HPP kita masih oke. Laba bersih kayak air sumur TSA. Jernih. Bisa buat kibarkan bendera TSA sampai ke atap Pendopo. Tidak perlu sampai ratusan kolam. Puluhan sudah bisa ngegas kayak kenalpot racing. Rasanya bukan sesuatu yang mustahil.

Putaran pertama dan kedua, pakai pakan pabrik.
Putaran ketiga saatnya bikin pakan sendiri. Formula mandiri.
Pakan pabrik memang praktis, tapi kita ini tidak cocok jadi praktis. Kita ini pembangun sistem. Biar kekayaan itu berputar. Bukan yang itu-itu lagi.

Ini baru nila. Belum kita bicara patin. Belum kita bicara hilirisasi. Belum kita bicara pakan lokal. Belum kita bicara pengeringan dan pengemasan. Kuncinya cuma satu: Metodologi.
Bukan mimpi besar. Tapi eksekusi yang runtut.
Bukan janji-janji. Tapi angka-angka.

Kalau nila bisa diajak bicara, mungkin dia akan bilang: “Kami bukan cuma ikan. Kami adalah peluang yang berenang di depan mata. Siapa cepat, dia dapat.”

Dan saya, sebagai orang yang tiap hari bermain dengan air dan insang, memilih untuk mendengar suara itu. Tapi jangan panggil saya Papa Ghufron nanti ya!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart