Takbir, Biochar, dan Jalan Panjang Kemandirian | Wakaf Produktif

Malam Idul Adha, malam yang biasanya dihabiskan dengan keluarga, terlewati dengan memburu masa depan tanah wakaf. Berpacu dengan waktu. Harus cepat. Sumber Selamat, Sumber Rahayu, Sumber Kencono raja jalanan pun masih kalah laju. Apa yang kami kejar? Mesin Biochar.

Alat yang diam-diam bisa menyelamatkan banyak hal: dari limbah pertanian, dari tanah yang lelah, dari ketergantungan pupuk kimia. Mesin yang akan kami bawa pulang ke Trubus Sentra Agrobisnis (TSA) bukan hanya rakitan besi dan baut. Tapi simbol perlawanan. Perlawanan terhadap ketergantungan. Perlawanan terhadap racun pertanian yang terus-menerus merusak dirinya sendiri. Perlawanan terhadap pola pikir lama: bahwa wakaf hanya untuk dibangun prasarana saja.

Biochar bukan jargon. Ini adalah bahan baku pertama dari pupuk organik yang akan TSA produksi sendiri. Dari limbah yang selama ini dibuang. Dari sisa tumbuhan yang hanya jadi sampah. Dari tanaman yang sudah dianggap lelah.

Kami menyusuri jalanan gelap, sementara Allah seolah menyusun orkestra langit. Takbir menggema. Ada yang berat di dada, tapi juga hangat. Karena kami tahu: ini bukan perjalanan bisnis biasa. Ini ziarah. Ini ikhtiar menghidupkan kembali spirit wakaf era keemasan.

Yogyakarta bukan tujuan. Hanya persinggahan. Sesaat. Tujuan kami adalah sebuah pagi, di mana pesantren bisa berdiri di atas kaki sendiri. Di mana anak-anak santri bisa fokus belajar di atas tanah yang diberkahi. Di mana tanah wakaf bukan beban, tapi sumber penghidupan.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar… Laa ilaha illallah…” Malam Idul Adha jadi saksi. Bahwa perjuangan tidak selalu di atas mimbar. Kadang ia ada di atas jalanan, di kabin mobil, menyusuri aspal, mengejar teknologi, demi satu simbol kedaulatan: mandiri.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart